“Why Do People Lie?”

Oleh: Pipit Septiani, M. Pd
Ulasan tentang keramaian media sosial tentang video 1T yang tengah beredar, penipuan di aplikasi kencan, dan kebohongan-kebohongan lain yang dilakukan oleh orang-orang.
Keramaian yang beredar belakangan ini sangat menarik untuk diulas. Beberapa dari kita mungkin juga penasaran, tentang:
“Kenapa sih orang-orang berbohong, menipu, dan memanipulasi?”
Temen-temen masih ingat film dokumenter di Netflix yang diangkat dari kejadian nyata dan menampilkan profil seorang pengusaha kaya raya yang berhasil menipu banyak wanita di aplikasi dating? Yep, tinder swlinder. Kebohongannya sempurna, terorganisir, dan sangat rapih. Simon Leviev: tampan, mapan, manis, dan kaya raya. Tapi semua yang dia tampilkan itu: bohong.
Belum selesai, muncul lagi tinder swlinder versi Indonesia yang fotonya tersebar dengan deretan meme-meme buah dari kreativitas netizen. Ya nggak jauh beda. Ujung-ujungnya nipu juga.
Nah yang baru banget nih, video seorang penceramah agama yang lagi marah-marah karena butuh duit 1T. Masalah “kuliah di Oxford” (if you know what I mean) juga menambah keramaian di media sosial. Ternyata dibalik figur seorang penceramah agama yang mahsyur, terungkap satu per satu korban penipuan investasi bisnis dengan janji-janji selangit.
Nambah penasaran nggak tuh, kenapa orang-orang bohong? Atau gini aja deh.
Kenapa kita berbohong?
Yuk kita bahas tuntas biar temen-temen bisa menyimpulkan sendiri.
Kalau dilihat dari hierarkhi kebutuhan manusia-nya Maslow, ada 6 motif yang melatarbelakangi sebuah kebohongan. Apa aja itu?

- Physiological Needs (Sandang, Papan, Pangan); misalnya ada orang yang lagi pengen beli makanan mahal tapi males banget ngeluarin uang. Orang ini bohong dan bilang ke orang lain kalau dia udah 3 hari nggak makan karena habis uangnya buat beli obat. Terus kirim menfess (direct message) tu ke akun auto base (yang pada main twitter pasti tau) biar dapet simpatisan. Dan ya, dapet deh apa yang dia pengen.
- Safety; misalnya ada anak yang nggak sengaja mecahin piring di rumah. Takut banget itu ketauan sama Ibunya. Karena merasa terancam kalau ntar bilang bakalan kena marah habis-habisan akhirnya dia bohong kalau bukan dia yang mecahin.
- Love and Belonging; misalnya kamu lagi pdkt sama doi, biar doi tertarik sama kamu, akhirnya kamu mengeluarkan jurus-jurus ala buaya dan bilang sama dia.
“Eh aku baru kali ini tau ketemu sama orang yang senyambung kamu”, yang mana–itu cuma tipu muslihat buaya semata. - Esteem; misalnya lagi buka puasa bareng, nah reunian tuh sama temen SD yang cerita dia sekarang kerja di start up yang udah IPO. Nggak mau kalah, akrhinya kamu ngaku-ngaku kalau kamu kerja di holding company yang ngurusin kilang minyak dan punya gaji 2 digit–yang mana, itu semua bohong.
- Self Actualization; misalnya ni ada orang yang pengen banget mencapai puncak karier politiknya sebagai lurah. Demi mencapai keinginan itu, dia kasih halal segala cara deh. Ya taulah ya ujung-ujungnya gimana.
- Self Transcendence; misal nih ada orang yang bohong supaya nggak bikin orang lain sakit ati atau overthinking kalau dia bilang yang sejujurnya.
Ini masih ada lagi dari Karl Bergstrom yang bilang:
“If we can communicate we can manipulate. And lying is manipulative communication. Lying is the way you communicate by not telling the truth”
Sebelum bicara “why do people lie” lebih lanjut, kita bahas dulu tentang “why do people communicate?”
Karena tujuan komunikasi tu buanyak banget. Misalnya kita komunikasi buat building relationship, buat dapetin informasi, buat ngelawak, buat basa-basi, atau buat membujuk orang, mempengaruhi orang dan berpolitik.
Nah kalau udah ketemu itu tujuan komunikasinya, baru bahas “why do people lie”-nya. Karena bohong adalah salah satu cara yang digunakan orang untuk mencapai tujuan dalam berkomunikasi.
Kalau kalian kenal orang yang sering banget bohong, bisa jadi itu termasuk pathological lying. Dan seorang pathological liar selalu kompulsif menunjukkan kebohongan-demi kebohongan sepanjang waktu–bahkan kadang dia nggak ngeuh kalau dia lagi bohong. Nah ini yang bahaya ni.
Yang lebih parah nih kalau udah jadi mythomania. Kalau udah mythomania, ini udah nggak beralasan lagi bohongnya. Kecuali alasan psikologis. Pengidap nggak bisa lagi buat membedakan mana yang bohong mana yang beneran. Kayak udah kecanduan aja gitu, dan timbul kepuasan. Sifatnya adiktif, jadi kalau nggak bohong kayak, gimana gitu. Faktor psikologis yang melatarbelakangi mythomania misalnya trauma kegagalan, dlsb.
Kalau “normal lies”, ini orang yang bohong tapi punya alasan.
Kayak misalnya kita mecahin piring tadi. Kita nggak ngaku kalau itu kita yang ngelakuin. Atau ketika bohong terpaksa dilakukan untuk melindungi seseorang dari rasa sakit.
Udah panjang banget ini bahasannya.
Ada juga orang yang bohong supaya bisa “diterima di pergaulan”. Ini yang biasanya sering banget kita temui. Atau ada juga orang yang bohong buat melindungi orang lain dari perasaan sakit hati. Misalnya sekelumit percakapan berikut ini:
“Keliatan gendut nggak sih sayang kalau aku pakai baju ini?”
“Nggak kok, bagus, cantik”.
Ada juga orang yang bohong buat menjauhi perasaan malu. Atau sekedar untuk melindungi diri sendiri. Yang ini biasanya dikaitkan dengan self-defense mechanism yang dicetuskan sama Sigmund Freud.
Kita semua marketer:
We tell lies to promote ourselves. We tell people about what’s good and won’t tell them about what’s bad. We trying to convince somebody.
Ala marketer banget lah pokoknya. Udah sering kan ya kalian ketipu olshop hehehehe.
Misal ada yang bilang produk ini bisa bikin berat badan turun 5kg 3 hari. Nah tuh sering banget pada ketipu. Alesannya ya biar kalian beli aja barangnya.
Tapi dari penjelasan di atas, sebenernya ada penjelasan yang lebih sederhana;
Why do people lie?
The answer is pretty simple.
“People lie… when the truth doesn’t work”.
Sekian.